Muda dan Pintar tapi Rela Berjuang di Pedalaman Papua, Inilah Kisah Dokter Amalia yang Viral di Medsos
Kisah yang dibagikan seorang dokter muda bernama Amalia Usmaianti (28) menarik perhatian warganet dalam beberapa pekan ini.
Dokter Amalia saat ini tengah bertugas di pedalaman Boven Digoel, Papua. Ia membagikan kisahnya melalui akun Facebook miliknya.
Dalam unggahannya, Amalia menceritakan jarak belasan kilometer yang harus ditempuhnya saat menangani warga yang membutuhkan pertolongan.
Lulusan Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara itu tengah mengikuti program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan dan ditugaskan selama 2 tahun di Puskesmas Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Amalia bertugas di daerah itu sejak Mei 2017, bersama 6 orang lainnya dalam sebuah tim.
Dalam unggahannya, Amalia menceritakan jarak belasan kilometer yang harus ditempuhnya saat menangani warga yang membutuhkan pertolongan.
Lulusan Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara itu tengah mengikuti program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan dan ditugaskan selama 2 tahun di Puskesmas Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Amalia bertugas di daerah itu sejak Mei 2017, bersama 6 orang lainnya dalam sebuah tim.
Tim itu terdiri dari dirinya sebagai dokter umum, dan 6 rekannya yang merupakan perawat, bidan, ahli kesehatan lingkungan, ahli gizi, analis kesehatan, dan apoteker.
Amalia membagikan foto dirinya dan beberapa rekannya tengah menyusuri jalananan berlumpur di Ninati dengan berjalan kaki. Terlihat pula air menggenang di beberapa bagian jalan yang dilintasi.
Mereka tengah menuju Kampung Tembutka yang berjarak 16 km dari puskesmas untuk melakukan Puskesmas Keliling (pusling) keesokan harinya.
Terlihat seorang wanita yang ditandu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari dua batang bambu kecil dan kain sarung.
Diketahui, dia adalah seorang bidan, satu tim dengan Amalia, yang jatuh sakit dan pingsan setelah menempuh 7 kilometer perjalanan.
Meskipun harus menandu rekannya, rombongan itu terus melanjutkan perjalanan karena jika kembali ke puskemas, jarak yang ditempuh akan lebih jauh. Selain itu, ada kekhawatiran munculnya hewan melata karena hari hampir petang.
Apa yang dialami oleh Amalia dan rombongannya, itu pula yang dijalani masyarakat untuk mendapatkan akses kesehatan.
“Banyak masyarakat sakit yang dibopong keluarganya sendiri, namun mereka tidak punya alat untuk merekam kepedihan yang mereka rasakan puluhan tahun,” tulis Amalia, dalam postingannya.
Amalia berharap, unggahannya dapat diketahui oleh dunia luar dan tempatnya mengabdi mendapat perhatian, khususnya dari pemerintah.
“Saya rasa kami hanyalah perantara, agar desa tersebut dapat dilihat oleh dunia luar. Bahwa masih ada tempat yang ditinggali masyarakat Indonesia yang jauh dari kita, jauh dari alat komunikasi, yang belum ada listrik, sinyal radio dan sebagainya,” tulis dokter asal Aceh itu.
Serba terbatas Saat diwawancarai Kompas.com, Kamis (14/6/2018), Amalia menjelaskan banyak hal terkait kondisi pedalaman Papua, tempatnya mengabdi.
Sebelum adanya Tim Nusantara Sehat pada 2015, banyak warga di Distrik Ninati lebih memilih berobat ke Papua Nugini karena terbatasnya layanan kesehatan di tempat mereka tinggal.
“Sebelum kami menetap itu, hanya ada puskesmas pembantu yang dikunjungi sebulan sekali dari puskesmas distrik lain yang terdekat. Dan jarak (masyarakat) ke puskesmas dengan ke Papua Nugini lebih dekat ke Papua Nugini, lewat hutan-hutan begitu,” kata perempuan kelahiran Medan, 15 Mei 1990 ini.
Saat ini, puskesmas tempat Amalia bertugas hanya memiliki 3 staf, yakni kepala puskesmas, bidan, dan perawat. “Tapi (mereka) jarang di tempat, karena kami (Tim Nusantara Sehat) stay di tempat,” ujar dia.
Ia mengungkapkan, masyarakat di pedalaman tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan dunia luar karena terbatasnya piranti dan jaringan komunikasi yang memadai.
“Untuk jaringan, tergantung cuaca. Kalau hujan ada petir, hilang sinyal, kami naik-naik pohon buat cari sinyal,” kata Amalia. Jalanan di 5 kampung pada distrik yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini ini juga belum diaspal.
Hal ini menyebabkan mobilitas menjadi sangat terbatas. “Jadi dari kabupaten ke distrik Ninati jalannya tidak aspal semua. Jalannya tanah liat yang kalau hujan jadi lumpur, tidak bisa dilewati kendaraan. Kampung Ninati yang kena aspal namanya Kampung Tembutka,” kata Amalia.
Tak hanya akses jalan, keterbatasan air dan listrik juga jadi masalah tersendiri di Distrik Ninati.
“Ternyata harus hujan dulu baru deh bak mandi terisi. Untuk keperluan mandi dan mencuci, kami biasa ke sungai. Untuk konsumsi kami ambil dari mata air di dekat rumah-rumah warga,” kisah Amalia.
Amalia menambahkan, ketersediaan listrik di Ninati yang disuplai dari tenaga solar juga tidak dapat dipastikan waktunya. “Kadang solar susah dicari, bisa sebulan hanya sekali (nyala), bisa juga sebulan itu satu atau dua minggu nyala terus karena ada dana dari kampung (untuk membeli solar),” kata dia.
Ia berharap, jalan di Distrik Ninati segera diaspal. Selain memudahkan proses merujuk pasien, akses jalan yang baik juga memudahkan masyarakat untuk berinteraksi dengan dunia luar dan menjual hasil tanamnya ke kota.
“Saya sendiri merasakan kesulitan untuk merujuk pasien karena jalannya hancur sekali. Masyarakat di sana juga butuh informasi, mereka perlu contoh agar bisa lebih maju pemikirannya,” ujar Amalia.
Semua pelayanan kesehatan yang disediakan di Puskesmas diberikan secara gratis bagi masyarakat. Di Distrik Ninati, tingkat pendidikan masyarakat masih rendah.
Untuk hidup sehari-hari, mereka mengandalkan hasil bertanam dan mencari ikan di sungai. Selain itu, mereka juga menerima dana bantuan dari pemerintah setiap 3 bulan sekali. (Luthfia Ayu Azanella)
Sumber: intisari.grid.id
Amalia membagikan foto dirinya dan beberapa rekannya tengah menyusuri jalananan berlumpur di Ninati dengan berjalan kaki. Terlihat pula air menggenang di beberapa bagian jalan yang dilintasi.
Mereka tengah menuju Kampung Tembutka yang berjarak 16 km dari puskesmas untuk melakukan Puskesmas Keliling (pusling) keesokan harinya.
Terlihat seorang wanita yang ditandu menggunakan tandu darurat yang terbuat dari dua batang bambu kecil dan kain sarung.
Diketahui, dia adalah seorang bidan, satu tim dengan Amalia, yang jatuh sakit dan pingsan setelah menempuh 7 kilometer perjalanan.
Meskipun harus menandu rekannya, rombongan itu terus melanjutkan perjalanan karena jika kembali ke puskemas, jarak yang ditempuh akan lebih jauh. Selain itu, ada kekhawatiran munculnya hewan melata karena hari hampir petang.
Apa yang dialami oleh Amalia dan rombongannya, itu pula yang dijalani masyarakat untuk mendapatkan akses kesehatan.
“Banyak masyarakat sakit yang dibopong keluarganya sendiri, namun mereka tidak punya alat untuk merekam kepedihan yang mereka rasakan puluhan tahun,” tulis Amalia, dalam postingannya.
Amalia berharap, unggahannya dapat diketahui oleh dunia luar dan tempatnya mengabdi mendapat perhatian, khususnya dari pemerintah.
“Saya rasa kami hanyalah perantara, agar desa tersebut dapat dilihat oleh dunia luar. Bahwa masih ada tempat yang ditinggali masyarakat Indonesia yang jauh dari kita, jauh dari alat komunikasi, yang belum ada listrik, sinyal radio dan sebagainya,” tulis dokter asal Aceh itu.
Serba terbatas Saat diwawancarai Kompas.com, Kamis (14/6/2018), Amalia menjelaskan banyak hal terkait kondisi pedalaman Papua, tempatnya mengabdi.
Sebelum adanya Tim Nusantara Sehat pada 2015, banyak warga di Distrik Ninati lebih memilih berobat ke Papua Nugini karena terbatasnya layanan kesehatan di tempat mereka tinggal.
“Sebelum kami menetap itu, hanya ada puskesmas pembantu yang dikunjungi sebulan sekali dari puskesmas distrik lain yang terdekat. Dan jarak (masyarakat) ke puskesmas dengan ke Papua Nugini lebih dekat ke Papua Nugini, lewat hutan-hutan begitu,” kata perempuan kelahiran Medan, 15 Mei 1990 ini.
Saat ini, puskesmas tempat Amalia bertugas hanya memiliki 3 staf, yakni kepala puskesmas, bidan, dan perawat. “Tapi (mereka) jarang di tempat, karena kami (Tim Nusantara Sehat) stay di tempat,” ujar dia.
Ia mengungkapkan, masyarakat di pedalaman tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan dunia luar karena terbatasnya piranti dan jaringan komunikasi yang memadai.
“Untuk jaringan, tergantung cuaca. Kalau hujan ada petir, hilang sinyal, kami naik-naik pohon buat cari sinyal,” kata Amalia. Jalanan di 5 kampung pada distrik yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini ini juga belum diaspal.
Hal ini menyebabkan mobilitas menjadi sangat terbatas. “Jadi dari kabupaten ke distrik Ninati jalannya tidak aspal semua. Jalannya tanah liat yang kalau hujan jadi lumpur, tidak bisa dilewati kendaraan. Kampung Ninati yang kena aspal namanya Kampung Tembutka,” kata Amalia.
Tak hanya akses jalan, keterbatasan air dan listrik juga jadi masalah tersendiri di Distrik Ninati.
“Ternyata harus hujan dulu baru deh bak mandi terisi. Untuk keperluan mandi dan mencuci, kami biasa ke sungai. Untuk konsumsi kami ambil dari mata air di dekat rumah-rumah warga,” kisah Amalia.
Amalia menambahkan, ketersediaan listrik di Ninati yang disuplai dari tenaga solar juga tidak dapat dipastikan waktunya. “Kadang solar susah dicari, bisa sebulan hanya sekali (nyala), bisa juga sebulan itu satu atau dua minggu nyala terus karena ada dana dari kampung (untuk membeli solar),” kata dia.
Ia berharap, jalan di Distrik Ninati segera diaspal. Selain memudahkan proses merujuk pasien, akses jalan yang baik juga memudahkan masyarakat untuk berinteraksi dengan dunia luar dan menjual hasil tanamnya ke kota.
“Saya sendiri merasakan kesulitan untuk merujuk pasien karena jalannya hancur sekali. Masyarakat di sana juga butuh informasi, mereka perlu contoh agar bisa lebih maju pemikirannya,” ujar Amalia.
Semua pelayanan kesehatan yang disediakan di Puskesmas diberikan secara gratis bagi masyarakat. Di Distrik Ninati, tingkat pendidikan masyarakat masih rendah.
Untuk hidup sehari-hari, mereka mengandalkan hasil bertanam dan mencari ikan di sungai. Selain itu, mereka juga menerima dana bantuan dari pemerintah setiap 3 bulan sekali. (Luthfia Ayu Azanella)
Sumber: intisari.grid.id
0 Response to "Muda dan Pintar tapi Rela Berjuang di Pedalaman Papua, Inilah Kisah Dokter Amalia yang Viral di Medsos"
Posting Komentar