Bener Ga..?? Ketika Istri Ikut Bekerja Mencari Nafkah, Kebanyakan Suami Akan Lupa Akan Kewajibannya
Istri tidaklah memiliki tanggung jawab mencari nafkah, melainkan suamilah yang mengemban penuh kewajiban tersebut (mencari nafkah) untuk keluarga.
Apabila suami lalai dengan sengaja, maka beberapa ulama menggolongkan kelalaiannya termasuk dalam dosa besar.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“… dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf …” (QS. al-Baqarah: 233)
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“… dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf …” (QS. al-Baqarah: 233)
Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorangpun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR.Muslim)
Akan tetapi, fakta di lapangan tak sedikit istri yang di samping menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, juga ikut berkontribusi menjadi asisten suami sebagai pencari nafkah.
Di luar tugasnya mengurus rumah, yaitu dengan mencari pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Misalnya; membuka warung nasi, pedagang kelontong, menerima pesanan kue, jualan online, dan sebagainya.
Dalam Islam, hukum istri yang bekerja tidaklah wajib, jika itu dilakukan istri pun juga tidaklah dilarang, dalam artian diperbolehkan asalkan memenuhi adab-adab yang Islami.
Namun, kerap kali ketika istri ikut berperan mencari nafkah, dan apalagi jika usaha yang dilakukan istri terlihat lancar dan menghasilkan, suami justru menjadi lengah, leha-leha, berpangku tangan, lupa pada kewajiban utama sebagai kepala rumah tangga yakni menafkahi keluarga.
Melingkupi; mencukupi kebutuhan dapur, membiayai sekolah anak, dan keperluan remeh-temeh lainnya.
Suami menganggap istri telah memiliki pendapatan sendiri, sehingga merasa tidaklah perlu lagi memberikan uang untuk membeli keperluan rumah tangga, biaya pangan, urusan sekolah anak, membayar tagihan listrik, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, lebih menyerahkan tanggung jawabnya kepada istri, meskipun tidak disampaikannya secara verbal.
Terkadang suami bersikap abai dengan sengaja membiarkan istri mencukupi segalanya, sampai-sampai suami tak sedikitpun memberi hasil kerjanya pada istri dengan pertimbangan bahwa istri sudah mencukupinya.
Sedangkan suami lebih mempergunakan pendapatan (uang) yang menjadi hak keluarga, untuk kepentingan pribadinya atau kalau tidak, akan mengatur sesuai keinginannya.
Sahabat Ummi, jika istri memiliki pendapatan sendiri dengan usaha yang dilakukannya, bukan berarti suami dibolehkan meninggalkan kewajiban yang sudah seharusnya ditunaikan.
Kecuali, jika memang ada sebab musabab yang menjadi alasan suami tidak mampu mencari nafkah sebagaimana yang seharusnya dikerjakan, contohnya suami sakit.
Tak jarang ada beberapa istri yang mengeluh dan merasa keberatan dengan langkah atau tindakan suami yang demikian.
Tatkala ia (istri) berniat mencari uang tambahan untuk membantu meringankan beban kewajiban suami, justru suami bukan semakin gigih dalam bekerja, agar tercipta berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Namun, lebih ke pengharapan, —toh istri sudah memenuhi semua kebutuhan keluarga, jadi gak perlu disodori uang lagi. Alhasil, istri menanggung semua urusan makan, pakaian, iuran, dan sebagainya.
Sahabat Ummi, dalam Islam uang yang didapatkan istri dari hasil keringatnya sendiri merupakan hak miliknya pribadi.
Suami tak memiliki hak untuk ikut menikmati atau menggunakannya, kecuali atas izin dan keridhoan/keikhlasan istri.
Jadi, jika istri ikut menjadi tulang punggung keluarga, suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, bukan ikut menikmati hasil jerih payah istri tanpa mempermasahkan, sebab istri adalah miliknya.
Istri adalah hak suami, namun harta hasil kerja istri bukanlah milik suami. Jika istri ikut berperan membantu suami, sudah semestinya suami tetap pada kewajibannya, dan akan lebih baiknya suami semakin menguatkan eksistensinya dalam bekerja agar mendapatkan perolehan yang maksimal.
Dengan harapan, semua kebutuhan keluarga tercukupi tanpa istri harus ikut bersusah payah menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni mengurus keluarga serta pencari nafkah.
Sumber:
Akan tetapi, fakta di lapangan tak sedikit istri yang di samping menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, juga ikut berkontribusi menjadi asisten suami sebagai pencari nafkah.
Di luar tugasnya mengurus rumah, yaitu dengan mencari pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Misalnya; membuka warung nasi, pedagang kelontong, menerima pesanan kue, jualan online, dan sebagainya.
Dalam Islam, hukum istri yang bekerja tidaklah wajib, jika itu dilakukan istri pun juga tidaklah dilarang, dalam artian diperbolehkan asalkan memenuhi adab-adab yang Islami.
Namun, kerap kali ketika istri ikut berperan mencari nafkah, dan apalagi jika usaha yang dilakukan istri terlihat lancar dan menghasilkan, suami justru menjadi lengah, leha-leha, berpangku tangan, lupa pada kewajiban utama sebagai kepala rumah tangga yakni menafkahi keluarga.
Melingkupi; mencukupi kebutuhan dapur, membiayai sekolah anak, dan keperluan remeh-temeh lainnya.
Suami menganggap istri telah memiliki pendapatan sendiri, sehingga merasa tidaklah perlu lagi memberikan uang untuk membeli keperluan rumah tangga, biaya pangan, urusan sekolah anak, membayar tagihan listrik, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, lebih menyerahkan tanggung jawabnya kepada istri, meskipun tidak disampaikannya secara verbal.
Terkadang suami bersikap abai dengan sengaja membiarkan istri mencukupi segalanya, sampai-sampai suami tak sedikitpun memberi hasil kerjanya pada istri dengan pertimbangan bahwa istri sudah mencukupinya.
Sedangkan suami lebih mempergunakan pendapatan (uang) yang menjadi hak keluarga, untuk kepentingan pribadinya atau kalau tidak, akan mengatur sesuai keinginannya.
Sahabat Ummi, jika istri memiliki pendapatan sendiri dengan usaha yang dilakukannya, bukan berarti suami dibolehkan meninggalkan kewajiban yang sudah seharusnya ditunaikan.
Kecuali, jika memang ada sebab musabab yang menjadi alasan suami tidak mampu mencari nafkah sebagaimana yang seharusnya dikerjakan, contohnya suami sakit.
Tak jarang ada beberapa istri yang mengeluh dan merasa keberatan dengan langkah atau tindakan suami yang demikian.
Tatkala ia (istri) berniat mencari uang tambahan untuk membantu meringankan beban kewajiban suami, justru suami bukan semakin gigih dalam bekerja, agar tercipta berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Namun, lebih ke pengharapan, —toh istri sudah memenuhi semua kebutuhan keluarga, jadi gak perlu disodori uang lagi. Alhasil, istri menanggung semua urusan makan, pakaian, iuran, dan sebagainya.
Sahabat Ummi, dalam Islam uang yang didapatkan istri dari hasil keringatnya sendiri merupakan hak miliknya pribadi.
Suami tak memiliki hak untuk ikut menikmati atau menggunakannya, kecuali atas izin dan keridhoan/keikhlasan istri.
Jadi, jika istri ikut menjadi tulang punggung keluarga, suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, bukan ikut menikmati hasil jerih payah istri tanpa mempermasahkan, sebab istri adalah miliknya.
Istri adalah hak suami, namun harta hasil kerja istri bukanlah milik suami. Jika istri ikut berperan membantu suami, sudah semestinya suami tetap pada kewajibannya, dan akan lebih baiknya suami semakin menguatkan eksistensinya dalam bekerja agar mendapatkan perolehan yang maksimal.
Dengan harapan, semua kebutuhan keluarga tercukupi tanpa istri harus ikut bersusah payah menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni mengurus keluarga serta pencari nafkah.
Sumber:
0 Response to "Bener Ga..?? Ketika Istri Ikut Bekerja Mencari Nafkah, Kebanyakan Suami Akan Lupa Akan Kewajibannya"
Posting Komentar